Ak bisa tanpamu, namun tak ingin. Banyak luka sudah tertoreh, namun ntah mengapa, denganmu tak apa. Kurasa aku bisa tolerir, pikirku. Apakah ini cinta buta atau sinyal alam semesta, aku tak bisa bedakan.
Jika mengikuti rasa, tentu kan kutelpon dan kuberitahu bahwa aku rindu dan ingin denganmu.
Namun melihat fakta yang ada, denganmu begitu merepotkan dan melelahkan. Aku terus kecewa dan dibohongi. Kepercayaan dan harapanku terus dikhianati dan tidak dipedulikan. Mau sampai kapan. Aku harus buat batas, pikirku.
Namun, jika ada keinginan besar untuk berubah, dan menunjukkannya dengan segenap hati, akan selalu ada kesempatan pikirku. Namun ternyata kamu tak sabar. Kamu tidak sesabar aku yang berjuang hingga dulu, hatimu luluh. Kamu tidak sabar dan tidak mau rekonsiliasi, membuat keputusan untuk dirimu sendiri. Kamu tidak sabar kena marah, karena hal yang kamu perbuat sendiri. Kamu tidak kuat menanggung konsekuensi dari perbuatanmu sendiri. Kamu pikir, kamu bisa menghilang dan kembali seenaknya, tanpa memerdulikan kekecewaanku. Kamu tidak kuat menyalahkan dirimu sendiri, karena harus ada disekitarmu yang jadi tempat salah. Semua salah orang lain. Semua salah keadaan, salahku, salah orang lain, salah tuhan. Kalau aku belum bisa memaafkanmu, pun itu salahku. Kapan kamu akan dewasa dan mengerti bahwa kamu harus menelan konsekuensi dari apa yang kamu perbuat, bertanggun jawab, dan berkomitmen untuk disiplin menyelesaikan masalahmu sendiri. Boro boro menyelesaikan, mengakui kebohongan dan ketidak konsistenanmu saja, tidak kamu lakukan. Bagaimana cara untuk percaya lagi. Aku ingin, tapi aku lelah. Apakah memang semelelahkan ini? Never ending journey, to forgive same mistakes overyears, knowing same lie and inconsequence habit will happen without commitment to do better next day.